Mengenang Ulama dan Pejuang Patani Tuan Guru Haji Sulong - Darul Islam Nusantara

Wednesday, March 13, 2019

Mengenang Ulama dan Pejuang Patani Tuan Guru Haji Sulong


Mengenang Ulama dan Pejuang Patani Tuan Guru Haji Sulong
Darul Islam Nusantara-Bagi masyarakat Patani (Selatan Thailand) tidak ada yang tidak mengetahui sosok pemilik nama lengkap Muhammad bin Haji Abdul Qadir bin Muhammad bin Tuan Minal atau yang akrab dengan panggilan Tuan Guru Haji Sulong (13 Agustus 1954 – 13 Agustus 2017), selain dikenal sebagai ulama kharismatik, pakar dalam bidang tafsir dan ushuluddin. Beliau juga dikenal sebagai sosok pejuang sejati yang sangat berani menabuh genderang perlawanan dengan pemerintah Thailand.

Pria kelahiran Kampung Anak Ru (sekarang masuk dalam wilayah Patani) pada tahun 1895 ini semenjak masa kanak-kanak sudah terlihat memiliki karakter yang berbeda dengan kawan-kawan sebayanya, hal ini tentunya tidak lepas dari peran orang tua yang senantiasa memberi perhatian, bimbingan serta kasih sayang kepada anak laki-lakinya. Aktifitas Sulong kecil sama juga seperti anak-anak Patani pada umumnya, beliau bermain dengan rekan-rekan sepermainan, mempelajari ilmu Agama Islam sebagai modal hablum minallah (berhubungan dengan Allah) dan hablum minannas (berhubungan dengan sesama manusia).


Beranjak usianya 12 tahun, beliau meninggalkan tanah air untuk menuntut ilmu ke Mekkah al-Mukarrahmah yang kala itu menjadi kiblat umat Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Disini beliau banyak mendapatkan pengetahuan baru yang belum pernah didapatkan semasa di kampung halamannya, selama 20 tahun belajar di Mekkah beliau dibekali oleh pengajar yang memiliki kapasitas keilmuwan mapan dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang diajarkan, tidak hanya berkaitan dengan ilmu ibadah murni (fiqih, tauhid dan tasawuf) beliau juga mempelajari ilmu politik dan sastra Arab.

Setelah melihat suasana Mekkah kian hari kian tidak kondusif pasca meletusnya perang dunia pertama, akhirnya Haji Sulong membulatkan tekad untuk meninggakan Mekkah. Sembari menunggu Mekkah kembali normal, beliau berkelana dan berdakwah ke berbagai pelosok negeri, diantaranya ke Kamboja, Bangkok, Singapura, Malaysia, bahkan ke Aceh, dan tujuan akhir ingin pulang ke kampung halamannya Patani.

Sambil menyebarkan syiar, beliau juga memantau perkembangan Islam di berbagai daerah termasuk kampung halamannya sendiri, dari hasil pantauan dapat disadari ternyata umat Islam sedang mengalami stagnasi yang sangat luar biasa, menyikapi hal tersebut Haji Sulong mulai mengurungkan niat untuk kembali ke Mekkah, dia sudah berkomitmen penuh untuk menetap di Patani dengan tujuan ingin mengajak umat Patani kembali ke arah yang lebih baik.

Dari itu, dia mulai membangun komunikasi secara intens dengan tokoh-tokoh politik di luar negeri, Haji Sulong juga menularkan kepada umat Patani semangat gerakan pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin al- Afghani seorang tokoh pembaharuan Islam terkemuka, dilain sisi beliau juga mendirikan sekolah berbasis pesantren yang diberi nama madrasah al-ma’arif al-whataniyah, beberapa sejarawan melayu mengatakan bahwa sekolah yang didirikan ini merupakan sekolah pertama di Patani yang mengkolaborasikan pendidikan corak pesantren dengan pendidikan bercorak modern. Tidak hanya memberikan perhatian di sektor pendidikan, Haji Sulong pada tahun 1939 juga mendirikan lembaga politik dan hukum yang diberi nama al-Hai’ah al-Tanfiziah lil-Ahkam al-Shar’iyyah, didirikan lembaga ini bertujuan untuk memberi pemahaman kepada umat Islam Pattani tentang hukum dan politik menurut perspektif Islam bukan menurut perspektif siam (Thailand).

Tujuh Tuntutan dan Agustus Kelam.

Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Phibul Songkram, intervensi terhadap masyarakarakat Patani semakin jelas, sekolah yang pernah dibangun oleh Haji Sulong ditutup paksa oleh pemerintah, masyarakat Muslim dikekang agar tunduk dengan konstitusi yang dirancang oleh pemerintah Thailand. Hal itu sangat berlawanan dengan hati nurani Haji Sulong, sehingga beliau menentang keras tindakan pemerintah tersebut, namun hasilnya belum berbuah manis, dikarenakan tidak adanya balance of power antara masyakat Muslim Selatan dengan pemerintah Thailand.
Setelah berakhir perang dunia Ke II yang mengakibatkan Jepang kalah, Perdana Mentri Phibul Songkram yang kala itu memihak Jepang akhirnya turut ikut terkena imbas, dia jatuh dari tampuk jabatan Perdana Mentri Thailand. Setelah beberapa lama kemudian dipilihlah Pridi Pranomyong sebagai Perdana Menteri yang baru.

Haji Sulong dan para pejuang melihat pergantian perdana menteri tersebut sebagai sebuah peluang yang tepat untuk memperjuangkan hak masyarakat Muslim Patani. Sebuah kongres agung pun dilaksanakan, seratus ulama, tokoh adat, cendikia, dan para pemuda menghadiri kongres tersebut. Hasil dari kongres melahirkan kesepakatan bersama yang termaktub kedalam tujuh tuntutan kepada pemerintah Thailand. Adapun ketujuh tuntutan tersebut adalah: Pertama, pengangkatan komisaris tertinggi Patani yang berwenang untuk memecat, memberi skors kepada kekuasaan empat wilayah, komisaris tersebut harus putra daerah yang dipilih melalui pemilihan umum.
Kedua, hasil kemakmuran di empat wilayah (Patani, Yala, Narathiwat dan Satun) akan digunakan untuk kesejahteraan rakyat selatan. Ketiga, bahasa melayu diizinkan sebagai mata pelajaran. Keempat, bahasa melayu dijadikan bahasa resmi. Kelima, 80 % pejabat pemerintah keempat wilayah harus direkrut dari orang lokal. Keenam, diizinkan hukum Islam diterapkan di empat wilayah selatan, dan yang ketujuh, majelis Agama Islam di tingkat provinsi diberi wewenang membuat perundang-undangan Islam. (tujuh tuntutan dikutip dari bulletin Tunas persatuan mahasiswa Patani cabang Aceh, edisi 1 tahun 2017).

Dianggap makar kepada pemerintah, Pada malam 13 Agustus 1954 Haji Sulong dan beberapa rekannya diundang pihak kerajaan Thailand dengan dalih ingin melakukan pertemuan, setelah malam pertemuan tersebut tidak lagi terdengar kabar Haji Sulong, beberapa hari kemudian barulah gempar informasi seantero Patani tentang hilangnya ulama kharismatik tersebut. Menurut beberapa literatur kemelayuan yang penulis dapatkan, bahwa pertemuan maut tersebut sudah di setting sedemikian rupa, Haji Sulong dan rekannya dibunuh dan ditenggelamkan ke laut oleh pihak Thailand sehingga mayatnya tidak pernah ditemukan sampai saat ini.

Tanggal 13 Agustus (Black August) menjadi tanggal duka bagi umat Patani, yang ditandai dengan wafatnya sang pejuang sejati dari selatan. Dari beberapa hasil kajian, dapat kesimpulan bahwa Haji Sulong adalah tokoh yang komplit yang menjalankan fungsi kepemimpinan secara sempurna, beliau dikenal sebagai sosok penyelaras (aligning), perintis (pathfinding), pemberdaya (empowering),dan panutan (modeling), selain itu, dia sangat gigih dalam memperjuangkan identitas melayu Patani hingga akhir hayatnya, sangat jarang kita menemukan sosok seperti ini.

Hari ini 13 Agustus bertepatan dengan moment 63 tahun wafatnya Haji Sulong, bukan maksud ingin membuka tabir kelam akan tetapi sudah sepatutnya bagi masyarakat Patani secara holistik mengikuti jejak langkah tuan guru yang selalu mengamalkan konsep wathaniyah (cinta tanah air), serta memposisikan kepentingan umat Patani menjadi urutan pertama dan utama. Nilai-nilai “sulongisme” harus dipatrikan ke dalam sanubari terutama generasi muda. Kita senantiasa mendoakan agar Allayarham Haji Sulong dan para syuhada mendapat tempat yang mulia di sisiNya. Amiin ya Rabbal ‘alamiin.

Penulis: Amarullah Yacob, pemuda kelahiran Pidie, Aceh. Pernah menjadi tim monitoring kegiatan mahasiswa Patani di Aceh

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here