Mengenang Ulama dan
Pejuang Patani Tuan Guru Haji Sulong
Darul Islam Nusantara-Bagi masyarakat Patani (Selatan Thailand) tidak ada
yang tidak mengetahui sosok pemilik nama lengkap Muhammad bin Haji Abdul Qadir
bin Muhammad bin Tuan Minal atau yang akrab dengan panggilan Tuan Guru Haji
Sulong (13 Agustus 1954 – 13 Agustus 2017), selain dikenal sebagai ulama
kharismatik, pakar dalam bidang tafsir dan ushuluddin. Beliau juga dikenal
sebagai sosok pejuang sejati yang sangat berani menabuh genderang perlawanan
dengan pemerintah Thailand.
Pria kelahiran Kampung Anak Ru (sekarang masuk dalam
wilayah Patani) pada tahun 1895 ini semenjak masa kanak-kanak sudah terlihat
memiliki karakter yang berbeda dengan kawan-kawan sebayanya, hal ini tentunya
tidak lepas dari peran orang tua yang senantiasa memberi perhatian, bimbingan
serta kasih sayang kepada anak laki-lakinya. Aktifitas Sulong kecil sama juga
seperti anak-anak Patani pada umumnya, beliau bermain dengan rekan-rekan
sepermainan, mempelajari ilmu Agama Islam sebagai modal hablum minallah (berhubungan
dengan Allah) dan hablum minannas (berhubungan dengan sesama
manusia).
Beranjak usianya 12 tahun, beliau meninggalkan tanah
air untuk menuntut ilmu ke Mekkah al-Mukarrahmah yang kala itu menjadi kiblat
umat Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Disini beliau banyak
mendapatkan pengetahuan baru yang belum pernah didapatkan semasa di kampung
halamannya, selama 20 tahun belajar di Mekkah beliau dibekali oleh pengajar
yang memiliki kapasitas keilmuwan mapan dengan berbagai macam ilmu pengetahuan
yang diajarkan, tidak hanya berkaitan dengan ilmu ibadah murni (fiqih, tauhid
dan tasawuf) beliau juga mempelajari ilmu politik dan sastra Arab.
Setelah melihat suasana Mekkah kian hari kian tidak
kondusif pasca meletusnya perang dunia pertama, akhirnya Haji Sulong
membulatkan tekad untuk meninggakan Mekkah. Sembari menunggu Mekkah kembali
normal, beliau berkelana dan berdakwah ke berbagai pelosok negeri, diantaranya
ke Kamboja, Bangkok, Singapura, Malaysia, bahkan ke Aceh, dan tujuan akhir
ingin pulang ke kampung halamannya Patani.
Sambil menyebarkan syiar, beliau juga memantau
perkembangan Islam di berbagai daerah termasuk kampung halamannya sendiri, dari
hasil pantauan dapat disadari ternyata umat Islam sedang mengalami stagnasi
yang sangat luar biasa, menyikapi hal tersebut Haji Sulong mulai mengurungkan
niat untuk kembali ke Mekkah, dia sudah berkomitmen penuh untuk menetap di
Patani dengan tujuan ingin mengajak umat Patani kembali ke arah yang lebih
baik.
Dari itu, dia mulai membangun komunikasi secara intens
dengan tokoh-tokoh politik di luar negeri, Haji Sulong juga menularkan kepada
umat Patani semangat gerakan pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin al-
Afghani seorang tokoh pembaharuan Islam terkemuka, dilain sisi beliau juga
mendirikan sekolah berbasis pesantren yang diberi nama madrasah al-ma’arif
al-whataniyah, beberapa sejarawan melayu mengatakan bahwa sekolah yang
didirikan ini merupakan sekolah pertama di Patani yang mengkolaborasikan
pendidikan corak pesantren dengan pendidikan bercorak modern. Tidak hanya
memberikan perhatian di sektor pendidikan, Haji Sulong pada tahun 1939 juga
mendirikan lembaga politik dan hukum yang diberi nama al-Hai’ah
al-Tanfiziah lil-Ahkam al-Shar’iyyah, didirikan lembaga ini bertujuan untuk
memberi pemahaman kepada umat Islam Pattani tentang hukum dan politik menurut
perspektif Islam bukan menurut perspektif siam (Thailand).
Tujuh Tuntutan dan Agustus Kelam.
Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Phibul Songkram,
intervensi terhadap masyarakarakat Patani semakin jelas, sekolah yang pernah
dibangun oleh Haji Sulong ditutup paksa oleh pemerintah, masyarakat Muslim
dikekang agar tunduk dengan konstitusi yang dirancang oleh pemerintah Thailand.
Hal itu sangat berlawanan dengan hati nurani Haji Sulong, sehingga beliau
menentang keras tindakan pemerintah tersebut, namun hasilnya belum berbuah
manis, dikarenakan tidak adanya balance of power antara masyakat
Muslim Selatan dengan pemerintah Thailand.
Setelah berakhir perang dunia Ke II yang mengakibatkan
Jepang kalah, Perdana Mentri Phibul Songkram yang kala itu memihak Jepang
akhirnya turut ikut terkena imbas, dia jatuh dari tampuk jabatan Perdana Mentri
Thailand. Setelah beberapa lama kemudian dipilihlah Pridi Pranomyong sebagai
Perdana Menteri yang baru.
Haji Sulong dan para pejuang melihat pergantian
perdana menteri tersebut sebagai sebuah peluang yang tepat untuk memperjuangkan
hak masyarakat Muslim Patani. Sebuah kongres agung pun dilaksanakan, seratus
ulama, tokoh adat, cendikia, dan para pemuda menghadiri kongres tersebut. Hasil
dari kongres melahirkan kesepakatan bersama yang termaktub kedalam tujuh
tuntutan kepada pemerintah Thailand. Adapun ketujuh tuntutan tersebut
adalah: Pertama, pengangkatan komisaris tertinggi Patani yang
berwenang untuk memecat, memberi skors kepada kekuasaan empat wilayah,
komisaris tersebut harus putra daerah yang dipilih melalui pemilihan umum.
Kedua, hasil kemakmuran di empat wilayah (Patani,
Yala, Narathiwat dan Satun) akan digunakan untuk kesejahteraan rakyat
selatan. Ketiga, bahasa melayu diizinkan sebagai mata
pelajaran. Keempat, bahasa melayu dijadikan bahasa resmi. Kelima, 80
% pejabat pemerintah keempat wilayah harus direkrut dari orang lokal. Keenam, diizinkan
hukum Islam diterapkan di empat wilayah selatan, dan yang ketujuh, majelis
Agama Islam di tingkat provinsi diberi wewenang membuat perundang-undangan
Islam. (tujuh tuntutan dikutip dari bulletin Tunas persatuan mahasiswa Patani
cabang Aceh, edisi 1 tahun 2017).
Dianggap makar kepada pemerintah, Pada malam 13
Agustus 1954 Haji Sulong dan beberapa rekannya diundang pihak kerajaan Thailand
dengan dalih ingin melakukan pertemuan, setelah malam pertemuan tersebut tidak
lagi terdengar kabar Haji Sulong, beberapa hari kemudian barulah gempar
informasi seantero Patani tentang hilangnya ulama kharismatik tersebut. Menurut
beberapa literatur kemelayuan yang penulis dapatkan, bahwa pertemuan maut
tersebut sudah di setting sedemikian rupa, Haji Sulong dan rekannya dibunuh dan
ditenggelamkan ke laut oleh pihak Thailand sehingga mayatnya tidak pernah
ditemukan sampai saat ini.
Tanggal 13 Agustus (Black August) menjadi tanggal duka
bagi umat Patani, yang ditandai dengan wafatnya sang pejuang sejati dari
selatan. Dari beberapa hasil kajian, dapat kesimpulan bahwa Haji Sulong adalah
tokoh yang komplit yang menjalankan fungsi kepemimpinan secara sempurna, beliau
dikenal sebagai sosok penyelaras (aligning), perintis (pathfinding), pemberdaya (empowering),dan
panutan (modeling), selain itu, dia sangat gigih dalam memperjuangkan
identitas melayu Patani hingga akhir hayatnya, sangat jarang kita menemukan
sosok seperti ini.
Hari ini 13 Agustus bertepatan dengan moment 63 tahun
wafatnya Haji Sulong, bukan maksud ingin membuka tabir kelam akan tetapi sudah
sepatutnya bagi masyarakat Patani secara holistik mengikuti jejak langkah tuan
guru yang selalu mengamalkan konsep wathaniyah (cinta tanah air),
serta memposisikan kepentingan umat Patani menjadi urutan pertama dan utama.
Nilai-nilai “sulongisme” harus dipatrikan ke dalam sanubari terutama generasi
muda. Kita senantiasa mendoakan agar Allayarham Haji Sulong dan para syuhada
mendapat tempat yang mulia di sisiNya. Amiin ya Rabbal ‘alamiin.
Penulis: Amarullah Yacob, pemuda kelahiran Pidie, Aceh.
Pernah menjadi tim monitoring kegiatan mahasiswa Patani di Aceh
No comments:
Post a Comment