Raja Haji pahlawan terbesar di nusantara
Oleh Wan
Mohd. Shaghir Abdullah
Tokoh Nusantara - MASYARAKAT Shaghir Abdullah Orang Melayu masih belum
menyadari bahwa di Malaka ada beberapa pemimpin dunia Melayu yang mati sebagai
martir karena membela kemuliaan Islam dan orang Melayu.
Mereka rela mengorbankan apapun, termasuk harta benda dan
nyawa, untuk melawan penjajah Portugis dan Belanda. Di antara banyak yang
jatuh sebagai martir termasuk 'Sufi' paling terkenal dari Sufi Melayu paling
terkenal di dunia. Dia bertemu di Melaka. Sarjana itu adalah Syeikh
Syamsuddin as-Sumatra-i yang meninggal sebagai martir karena berkelahi dengan
Portugis.
Sejarah penting fasis martir besar di Melaka adalah Raja Haji
bin Upu Daeng Celak yang dibunuh oleh penjajah Belanda. Saya berpendapat
bahwa Raja Haji adalah pejuang Melayu terbesar atau paling terkenal di dunia
sebagai Hang Tuah mengingat operasi darat dan maritimnya yang luas. Raja
Haji adalah subjek persidangan dalam artikel ini.
Dari pihak ayahnya, Raja Haji berasal dari keturunan raja-raja
di tanah Bugis, negara bagian Luwuk. Selain itu ibunya berasal dari
keturunan penguasa Melayu. Raja Haji lahir di Kota Tua, di Hulu Sungai
Riau, pada tahun 1139 H / 1727 M dan meninggal pada hari Rabu di Teluk
Ketapang, Melaka, 19 Rejab 1198 H / 8 Juni 1784 M.
Hubungan dengan ulama
Raja Haji meskipun bukan seorang sarjana, tetapi juga dibahas
di ruangan ini, karena beberapa faktor. Pertama adalah karena ia mampu
bergaul dengan beberapa ulama. Dia diyakini telah bertemu Saiyid Husein
al-Qadri di Mempawah, paman pamannya, Upu Daeng Menambon. Pangeran Upu
Daeng Menambon bernama Gusti Jamiril menerima pendidikan Islam yang
solid. Gusti Jamiril adalah sepupu Raja Haji, keduanya mampu
bergaul. Demikianlah cara pergaulan Islam, dengan demikian praktik
sepupunya, memengaruhi Raja Haji.
Pada saat yang sama Raja Haji dan Gusti Jamiril belajar kepada
Sheikh Ali bin Faqih dari Patani. Dia adalah Mufti Mempawah kedua,
menggantikan Saiyid Husein al-Qadri. Makamnya disebut 'Keramat Pokok Sena'
yang terletak di Pemakaman Desa Mempawah. Hubungan Raja Haji dengan Saiyid
Abdur Rahman bin Saiyid Husein al-Qadri, Sultan Pontianak yang pertama juga
sangat dekat. Saiyid Abdur Rahman al-Qadri adalah suami dari Utin
Cenderamidi bin Upu Daeng Menambon. Faktor kedua, dari keturunan Raja
Haji, menjadi yang paling terkenal di antara mereka, Raja Ali Haji yang terkenal
(cucunya). Keturunannya yang juga ulama adalah Raja Haji Umar bin Raja
Hasan bin Ali Haji dan lainnya.
Judul dipegang
Raja Haji memegang berbagai gelar termasuk Engku Kelana (1747M
- 1777M), Pangeran Sutawijaya, Yang Dipertuan Muda Riau-Johor IV (1777M - 1784M),
Raja, Marhum Teluk Ketapang, Marhum Asy-Syahid fisabilillah. Terakhir,
secara resmi atas nama pemerintah, Raja Haji dianugerahi Pahlawan Nasional
Indonesia dianugerahi Bintang Mahaputera Adipradana oleh Presiden Republik
Indonesia di Jakarta pada 11 Agustus 1997.
1756M - 1758M Raja Haji dengan sepupunya Daeng Kamboja
memimpin Perang Linggi melawan Belanda. Perang Linggi melibatkan pasukan
Melayu dari Linggi, Rembau, Klang, Selangor dan Siak.
Ketika Syarif 'Abdur Rahman al-Qadri berperang melawan Sanggau,
Raja Haji adalah seorang pahlawan perang. Perang pecah pada 26 Muharram
1192H / 24 Februari 1778 M hingga 11 Safar 1192H / 11 Maret 1778 M. Raja Haji
mengangkat Syarif Abdur Rahman al-Qadri sebagai sultan pertama Kerajaan
Pontianak dan Raja Haji mengatur kerangka administrasi.
Raja Haji adalah satu-satunya prajurit Nusantara yang pernah
melihat kakinya di hampir semua negara Melayu. Diantaranya adalah
Terengganu, Pahang, Johor, Selangor, Kedah, Langkat, Inderagiri, Jambi, Muntok
/ Bangka, Pontianak, Mempawah dan lainnya. Jika kita bandingkan dengan
semua pahlawan di nusantara, seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan
lainnya, mereka hanya beroperasi di darat saja dan tidak mengalami perang
maritim. Jika kita bandingkan dengan Sultan Hasanuddin, dia adalah seorang
prajurit maritim saja, tidak banyak pengalaman dalam perang di darat. Jika
hanya ada di sekitar Sulawesi Selatan.
Jika kita membandingkannya dengan yang lain, itu tidak berarti
kita kehilangan pejuang lain, tetapi sejarah mencatat bahwa banyak pejuang
menyerah pada penjajah. Beberapa ditangkap karena selingkuh dan
lainnya. Semuanya berbeda dari Raja Haji. Dia lebih rela mati di
medan perang daripada menyerah atau ditipu oleh musuh. Pada 18 Juni 1784 M
Raja Haji dibunuh sebagai martir dalam perang melawan pemimpin Belanda Jacob
Pieter van Braam di Melaka. Pasukan Melayu yang terbunuh bersama Raja Haji
diperkirakan sekitar 500 orang. Seperti dalam pembukaan yang telah saya
nyatakan, "... Raja Haji bin Upu Daeng Celak adalah pejuang Melayu terbesar
atau terbaik di dunia setelah Hang Tuah ...."
Namun, kita harus menyadari bahwa kisah Hang Tuah lebih
bersifat mitos. Berbeda dengan Raja Haji. Kisahnya tercatat sebagai
sejarah yang dibuktikan dengan data dan fakta yang tidak bisa
dipungkiri. Karena itu, dari segi sejarah berarti 'Raja Haji pahlawan
Melayu terbesar dan terhebat di dunia, bukan Hang Tuah.'
Insiden aneh
Raja Ali Haji di Tuhfat an-Nafis menceritakan peristiwa aneh
jenazah Raja Haji setelah kematiannya di syuhada fisabilillah sebagai berikut,
"Syahdan aku bisa mengatakan bahwa dari tetua mutawatir, sebelum ia
menanam jenazah Yang Di-Raja Raja Haji , al-Marhum, lalu memasukkannya ke dalam
kotak untuk membawanya ke Betawi, sudah siap kapal akan membawa tubuh
al-Marhum. Maka menunggu hari berikutnya, maka malam itu keluar seperti
api dari peti mati al-Marhum Raja Haji. Jadi Malaka melihat itu. Di
tengah pertarungan kapal yang akan membawa tubuh al-Marhum meledak, terbakar,
terbang ke udara semua isinya dan orang-orangnya. Tidak ada yang
ditinggalkan sendirian.
"Syahdan si mutualir qaul berkata, itu tidak membawa
tubuh al-Marhum untuk pindah ke negara lain. Jadi ditanam di Malaka,
sampai datang dari Provinsi Riau. Dan setengah qaul mengatakan bahwa
mutawatir yang dipanggil oleh Holanda yang sebelumnya bernama Raja Api ....
"(Tuhfat an-Nafis, Naskhah Terengganu, p.115)
Dalam pandangan saya, di atas mencerminkan kemuliaan orang
yang mati dalam kesyahidan fisabilillah karena berjuang untuk kepentingan Islam
atau berjuang untuk rakyatnya, orang-orang Melayu tercinta. Perjuangan
seperti itu mencerminkan kepatuhan terhadap perintah Allah dan
Rasul-Nya. Jadi artikel Abdullah Munsyi di Hikayat Abdullah mengatakan
bahwa jenazah Raja Haji yang ditanam di ladang gadai harus diperdebatkan dan
dibahas secara ilmiah. Artikel Abdullah Munsyi lengkap sebagai berikut,
"Itu di belakang kebun perusahaan yang tertanam di King Haji. Itu
adalah Raja Melayu yang kuat. Awalnya keturunan Bugis. Jadi istrinya
bernama Ratu Emas. Itu adalah orang yang datang untuk melawan Melaka pada
periode Holanda - kemudian dari saat itu sampai sekarang (artinya sampai
Abdullah Munsyi menulis hikayatnya, pena :) sekitar lebih dari 60 tahun -
sehingga hampir Melaka bisa datang kepadanya. Jadi di sekitar koloni
Malaka dan desa-desa itu semua berakhir tetapi Malaka hanya dibiarkan tidak
mengganggu. Pada saat itu semua orang di Melaka memasuki perang melawan
Holanda Melayu, Keling, Cina, Serani masing-masing dengan kapten dan kepala
perangnya. Jadi dia telah berperang selama beberapa tahun dan meninggal
ketika Raja Haji dimakamkan di Tanjung Palas. Kemudian diambil Holanda
tubuhnya ditanam di belakang taman. Ada gosip yang kudengar, ini
peternakan babi. Kemudian ada sekitar 20 atau 30 tahun di belakang
keturunan Raja Haji dari Lingga dan Riau ke Melaka meminta izin kepada raja
Inggris untuk mentransfer makam ke Riau. Jadi izin
diberikan. Kemudian bawa dia pergi .... "(Hikayat Abdullah, hlm.
57-58)
Sejarah Abdullah Munsyi tentang Raja Haji yang ditanam pada
babi sulit diterima karena: Pertama, jauh berbeda dari yang ditulis oleh Raja
Ali Haji seperti yang disebutkan di atas. Kedua, orang yang mati syahid
fisabilillah dimuliakan oleh Allah swt. Dalam Al Qur'an disebutkan bahwa
"para martir tidak mati, di kuburan mereka diberi rezeki." Dalam
hadis Nabi Suci ada banyak menyebutkan tentang manfaat para
martir. Pandangan saya bukan untuk menuduh Abdullah Munsyi berbohong dalam
tulisannya, karena ia sendiri menyebutkan di awal kalimatnya, "Ada kata
yang kudengar". Begitu banyak asumsi yang bisa dibuat. Pertama, mungkin
saja persidangan itu sengaja diproses oleh para pembohong dari penguasa
kolonial pada waktu itu untuk menghilangkan bangkitnya jihad Muslim Melayu yang
tidak suka negara mereka dijajah oleh non-Muslim. Kedua, kemungkinan
tekanan kekuasaan kolonial memaksa Abdullah Munsyi untuk menulisnya. Jadi
kita harus berpikir dan memeriksa setiap kalimat dan kata yang dia tulis.
Selain itu, jika kita berpikir secara kritis dan bebas
menganalisis, khususnya dalam konteks di atas, memang banyak kalimat atau kata
dengan kata Abdullah Munsyi mengandung unsur-unsur politik yang menguntungkan
kolonialis pada zamannya. Misalnya, meskipun Abdullah Munsyi mengakui
bahwa Raja Haji adalah Raja Melayu, tetapi hukuman Abdullah Munsyi terus
menyatakan bahwa asal mula Raja Haji adalah keturunan Bugis. Mengapa
Abdullah Munsyi tidak menyebut Raja Haji dari pihak ibunya adalah orang
Melayu. Di sini diharapkan, jika Raja Haji memanggil orang Melayu,
semangat orang Melayu untuk berdiri di tangan Raja Haji sulit untuk diberantas.
Link Berikut : https://darulislamnusantara.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment