Gusti Jamiril sosok ulama, raja dan pahlawan
Oleh Wan
Mohd. Shaghir Abdullah
Tokoh Nusantara - DI Halaman Agama, The Malay Mail , Senin, 12 Juni
2006, diceritakan kisah Raja Haji, Pahlawan Nusantara Terbesar, yang adalah
sepupu Lord Jamiril. Gusti Jamiril adalah putra Upu Daeng
Menambon. Raja Haji adalah putra Upu Daeng Celak.
Upu Daeng Menambon dan Upu Daeng Celak adalah saudara
kandung. Studi awal saya tentang sejarah mereka berasal dari bahasa Melayu
dan Bugis Galicia, Tuhfat an-Nafis. Keduanya adalah buku-buku Raja Ali
Haji.
Selain dua makalah tersebut, beberapa versi tulisan tangan
Mempawah dan Pontianak juga merupakan sumber saya. Selain direkam secara
tertulis, cerita lisan juga saya dengar di Mempawah dan Riau.
Saya harus menyebutkan di sini bahwa Gusti Jamiril sebenarnya
memiliki peran khusus dalam kedua karya Raja Ali Haji yang dinyatakan karena
sejarah aslinya berdasarkan tulisan Upu Daeng Menambon dengan Bugis dan
Bugis. Terjemahan dari Bugis ke Bahasa Melayu adalah Gusti Jamiril.
Terjemahan Lord Jamiril diproses oleh Raja Haji Ahmad, putra
Raja Haji, tetapi belum diselesaikan dan kemudian dihubungkan oleh putranya,
Raja Ali Haji. Gusti Jamiril juga diadakan dengan gelar Adiwijaya Kesuma
Jaya. Dia meninggal di Zuhur, Minggu, Zulkaedah, 1204 H / Juli 1790.
Pada judul artikel ini saya menyatakan bahwa Gusti Jamiril
adalah seorang sarjana, raja dan pahlawan. Ketiganya bisa dibuktikan.
Persyaratan seorang sarjana dimulai dengan pengetahuan
instrumen Arab, seperti ilmu tata bahasa, ilmu syaraf, dan lain-lain, serta
berbagai ilmu keislaman lainnya. Gusti Jamiril telah mempelajari semua
persyaratan ini dengan Saiyid Husein al-Qadri (Mufti Mempawah pertama) dan
Syeikh Ali bin Faqih al-Fathani (Mufti Mempawah ke-2).
Bukti Gusti Jamiril yang menguasai ilmu-ilmu Islam disebutkan
oleh Raja Ali Haji dalam silsilah Melayu dan Bugis. Ketika Gusti Jamiril
pergi ke Pinang Sekayuk, pertanyaan Pangeran Dipati adalah: "Apakah saya
tahu cara membaca Al-Quran?" Jawab Jamiril: "Tahu!" Jadi dia
memerintahkannya untuk membaca Alquran. Kemudian bacalah Tuan
Jamiril. Dalam dua maqra 'dia berhenti.
“Apakah kavaleri saya telah melalui tata bahasa dan syaraf?”
Kemudian Jamiril menjawab: “Tahu!” Kemudian dia menyuruhnya membaca bacaan
Alquran.
Jadi jelas artinya maknanya diucapkan. Selain menjadi
master pengetahuan, Gusti Jamiril juga sangat kuat dalam harga
diri. Praktek yang ditinggalkannya adalah pembacaan Alquran, pembacaan
Nabi Muhammad, zikir dan lain-lain. Ziarah yang dipraktikkannya adalah
'Shalawat Dalail al-Khairat'. Ucapan selamat tidak pernah ditinggalkan
oleh Raja Haji asy-Syahid fi Sabilillah, Yang Dipertuan Muda Riau IV-IV, sepupu
Gusti Jamiril.
PEMERINTAH PEMERINTAH
Upu Daeng Menambon, Raja Mempawah pertama, wafat pada 26 Safar
1174 H / 7 Oktober 1760 M (sejarah lain ia wafat pada 1166 H / 1752
AD). Ia digantikan oleh putranya, bernama Lord Jamiril, diberi gelar
'Adiwijaya Kesiwa Jaya', atau selanjutnya disingkat menjadi
Adiwijaya. Pada zamannya pemerintah pusat Mempawah dipindahkan dari
Sepukit Raya ke Pulau Pedalaman, Mempawah Hilir. Tetapi setelah berselisih
dengan Belanda, Pengawas Adiwijaya harus memindahkan pemerintah pusat dari
Pulau Pedalaman, Mempawah ke Hulu Mempawah, lokasi yang sangat jauh bernama
Karangan.
Adiwijaya adalah seorang sarjana dan raja yang tidak ingin
ditaklukkan oleh penjajah Belanda. Dia lebih siap dan setia dalam jejak
perjuangan sepupunya, Raja Haji (Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga Ke-IV) yang
meninggal sebagai syahid fi sabilillah di Melaka. Itu adalah langkah yang
sama dengan sepupunya, Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga Ke-V, yang
kemudian dipaksa bermigrasi untuk menyusun strategi di Sukadana.
Belanda menuduh Adiwijaya berkonspirasi dengan pahlawan yang
berasal dari Riau. Karena Belanda tidak tahu cara menangkap Raja Ali,
tekanannya sangat parah sehingga Adiwijaya hanya bisa menyembunyikan Raja Ali.
Padahal, pada saat itu Raja Ali yang memahami situasi maritim
bukan hanya di Sukadana tetapi terkadang di Kepulauan Tambelan. Terkadang
dia berada di Kepulauan Siantan dan di tempat lain.
Sebagai hasil dari undangan Adiwijaya yang tidak ingin dijajah
oleh negara asing non-Muslim, pemerintah kolonial Belanda untuk memulihkan apa
yang disebut Rusten en orde (Militer) mengirim pasukan pasukan kolonial dari
Pontianak ke Mempawah. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1787 M.
Karena pendengaran, penciuman dan pandangan presentasi Adiwijaya untuk mengetahui
situasi dan situasi dalam keadaan aman dan perang yang hebat, ternyata serangan
itu hanyalah tempat yang dikosongkan. Migrasi Adiwijaya bersama dengan
pengikutnya yang setia dari Pedalaman Pulau Mempawah Hilir ke Karangan Mempawah
Hulu dilakukan sekitar tahun 1786.
Setelah kekosongan pemerintahan Mempawah, Syarif Abdur Rahman
al-Qadri, Sultan Pontianak, saudara lelaki dari Penembahan Adiwijaya, mengambil
langkah bijak dengan menunjuk pangerannya, Pangeran Syarif Qasim al-Qadri untuk
menjadi Raja di Mempawah.
Ibu Syarif Qasim al-Qadri adalah Utin Cenderamidi, saudara
perempuan Adiwijaya. Jadi Pangeran Syarif Qasim al-Qadri masih layak
menjadi Raja di Mempawah karena ia adalah cucu Upu Daeng Menambon. Namun,
perang antikolonial Belanda antik masih terjadi yang melibatkan Jati dan Gusti
Mas, keduanya pangeran Adiwiyaja.
Makam
Keduanya dapat membentuk gabungan kekuatan Melayu dan
Dayak. Tempat-tempat perang yang terjadi adalah di antara Herang Galah,
Sebukit Rama, di sekitar makam Upu Daeng Menambon dan Sangking.
Perang di Mempawah diperpanjang hingga 1788 M. Pada tahun yang
sama Sultan Mahmud dan Bendahara Abdul Majid Pahang mengirim utusan ke Mempawah
untuk mengundang Mempawah dan Raja Tempasik untuk menyerang Belanda yang telah
menjajah Riau. Situasi Mempawah sangat serius, maka Mempawah tidak mau
membantu Sultan Mahmud Riau. Begitu pula dengan Raja Tempasok karena pihak
oposisi masih fokus pada Belanda yang memiliki kendali atas Pontianak dan akan
menjajah Mempawah.
Ketika delegasi Riau datang ke Mempawah, pada saat itu ada
pertengkaran antara orang Cina dan Melayu di sekitar Kuala
Mempawah. Diriwayatkan bahwa pertengkaran itu terjadi karena orang Cina
yang terlibat dengan organisasi rahasia mereka di Mandor telah mengambil
pembantaian orang Melayu dan Bugis selama perang antara orang Melayu-Bugis dan
Belanda.
Ada prajurit kuat dari Riau dan Patani. Ratusan orang
China hanya menghadapi tiga orang. Mereka adalah Habib Syekh, yang
terkenal karena keramatny-nya dan Tengku Sembob yang terkenal karena martabat
dan keandalannya memainkan senjata. Keduanya dari Riau.
Yang lainnya adalah Abdur Rahman yang dipanggil dengan nama
Wak Tapak. Dia dari Patani. Dia adalah Syekh Ali bin Faqih
al-Fathani. Tiga yang membela Islam dan bumi Melayu adalah di antara mereka
yang paling dekat dengan yang diceritakan Adawijaya ini.
Setelah perang berakhir, beberapa putra dan putri terdekat
membujuk Adiwijaya untuk kembali ke Pulau Pedalaman Mempawah untuk
mengembangkan Mempawah lagi. Mereka ingin membangun kembali komunitas
Melayu Muslim-Bugis sehingga mereka menjadi penyebar agama Islam di wilayah
suku Dayak, sebagian besar animisme.
Doa suci pada awalnya diterima oleh Adiwijaya Penembahan,
tetapi setelah melakukan sholat Istikharah berulang kali, ia menyimpulkan bahwa
selama Belanda, para penjajah, yang tidak seperti dia masih di Pontianak, belum
lagi Mempawah sudah berada dalam genggaman Belanda, selama yaitu penyebaran
Islam akan mendapat hambatan dari penjajah.
Penampilan Adiwijaya sama tuanya dengan dia, seolah kematiannya
telah berakhir.
Jadi sebelum dia meninggal dia bersaksi. Bahwa ia tidak mau dimakamkan di tempat di mana penjajah Belanda berbicara. Ketika Adiwijaya Penembahan meninggal karena perselisihan kecil, ada kerabat yang membela keinginannya untuk dimakamkan di Karangan, bumi tempat ia terbunuh oleh Belanda.
Jadi sebelum dia meninggal dia bersaksi. Bahwa ia tidak mau dimakamkan di tempat di mana penjajah Belanda berbicara. Ketika Adiwijaya Penembahan meninggal karena perselisihan kecil, ada kerabat yang membela keinginannya untuk dimakamkan di Karangan, bumi tempat ia terbunuh oleh Belanda.
Kerabatnya yang lain berpendapat bahwa 'akan ada', dan bahwa
dia harus dimakamkan di Pulau Mempawah Outback. Dikatakan bahwa jenazah
Penembahan Adiwijaya dimasukkan ke dalam sebuah wadah yang dimuat dalam sebuah
kapal dan dibawa ke hilir ke Sungai Mempawah. Dia dibawa ke Mempawah
Outback Island.
Semua pengawal dan staf tercengang karena tiba-tiba air sungai
menjadi kering. Perahu membawa peti mati terdampar. Ternyata kotak
itu dinyalakan, lalu dibuka. Tiba-tiba, tubuh Penembahan Adiwijaya tidak
ditemukan lagi di dada. Kotak kosong dermaga masih dibawa ke Pulau
Mempawah Interior sesuai dengan kebiasaan raja saat itu.
Sampai sekarang, tidak diketahui di mana makam Adiwijaya
berada karena ada dua makam. Makam pertama terletak di Karangan (Mempawah
Hulu) dan yang lainnya di Pulau Pedalaman (Mempawah Hilir).
Beberapa ulama dari dunia Melayu memiliki lebih dari satu
makam, di antaranya Syeikh Yusuf Tajul Khalwati yang makamnya terletak di
Afrika Selatan dan Sulawesi Selatan. Makam Syeikh Daud bin Abdullah
al-Fathani juga ditemukan di Taif dan di Mekah. Terjadinya hal-hal semacam
itu semuanya memiliki sejarahnya sendiri.
Link Berikut : https://darulislamnusantara.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment