Gusti Jamiril sosok ulama, raja dan pahlawan - Darul Islam Nusantara

Wednesday, March 20, 2019

Gusti Jamiril sosok ulama, raja dan pahlawan


Gusti Jamiril sosok ulama, raja dan pahlawan

Oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah 

Tokoh Nusantara - DI Halaman Agama, The Malay Mail , Senin, 12 Juni 2006, diceritakan kisah Raja Haji, Pahlawan Nusantara Terbesar, yang adalah sepupu Lord Jamiril. Gusti Jamiril adalah putra Upu Daeng Menambon. Raja Haji adalah putra Upu Daeng Celak. 

Upu Daeng Menambon dan Upu Daeng Celak adalah saudara kandung. Studi awal saya tentang sejarah mereka berasal dari bahasa Melayu dan Bugis Galicia, Tuhfat an-Nafis. Keduanya adalah buku-buku Raja Ali Haji. 

Selain dua makalah tersebut, beberapa versi tulisan tangan Mempawah dan Pontianak juga merupakan sumber saya. Selain direkam secara tertulis, cerita lisan juga saya dengar di Mempawah dan Riau.

Saya harus menyebutkan di sini bahwa Gusti Jamiril sebenarnya memiliki peran khusus dalam kedua karya Raja Ali Haji yang dinyatakan karena sejarah aslinya berdasarkan tulisan Upu Daeng Menambon dengan Bugis dan Bugis. Terjemahan dari Bugis ke Bahasa Melayu adalah Gusti Jamiril. 

Terjemahan Lord Jamiril diproses oleh Raja Haji Ahmad, putra Raja Haji, tetapi belum diselesaikan dan kemudian dihubungkan oleh putranya, Raja Ali Haji. Gusti Jamiril juga diadakan dengan gelar Adiwijaya Kesuma Jaya. Dia meninggal di Zuhur, Minggu, Zulkaedah, 1204 H / Juli 1790. 
Pada judul artikel ini saya menyatakan bahwa Gusti Jamiril adalah seorang sarjana, raja dan pahlawan. Ketiganya bisa dibuktikan.


Persyaratan seorang sarjana dimulai dengan pengetahuan instrumen Arab, seperti ilmu tata bahasa, ilmu syaraf, dan lain-lain, serta berbagai ilmu keislaman lainnya. Gusti Jamiril telah mempelajari semua persyaratan ini dengan Saiyid Husein al-Qadri (Mufti Mempawah pertama) dan Syeikh Ali bin Faqih al-Fathani (Mufti Mempawah ke-2). 
Namun, sistem pendidikan kedua cendekiawan berbeda. Saiyid Husein al-Qadri yang berasal dari negara-negara Arab, lebih memilih nafsu Arab. Sementara Sheikh Ali bin Faqih al-Fathani, dari Patani, memperkenalkan sistem pendidikan pondok seperti di Patani. Sistem Pondok Patani lebih menekankan keakuratan dalam membaca setiap buku berbahasa Arab. Dalam hal ini adalah penting bahwa seorang sarjana menguasai ilmu tata bahasa, ilmu syaraf, dan semua ilmu instrumen Arab.

Bukti Gusti Jamiril yang menguasai ilmu-ilmu Islam disebutkan oleh Raja Ali Haji dalam silsilah Melayu dan Bugis. Ketika Gusti Jamiril pergi ke Pinang Sekayuk, pertanyaan Pangeran Dipati adalah: "Apakah saya tahu cara membaca Al-Quran?" Jawab Jamiril: "Tahu!" Jadi dia memerintahkannya untuk membaca Alquran. Kemudian bacalah Tuan Jamiril. Dalam dua maqra 'dia berhenti. 

“Apakah kavaleri saya telah melalui tata bahasa dan syaraf?” Kemudian Jamiril menjawab: “Tahu!” Kemudian dia menyuruhnya membaca bacaan Alquran.

Jadi jelas artinya maknanya diucapkan. Selain menjadi master pengetahuan, Gusti Jamiril juga sangat kuat dalam harga diri. Praktek yang ditinggalkannya adalah pembacaan Alquran, pembacaan Nabi Muhammad, zikir dan lain-lain. Ziarah yang dipraktikkannya adalah 'Shalawat Dalail al-Khairat'. Ucapan selamat tidak pernah ditinggalkan oleh Raja Haji asy-Syahid fi Sabilillah, Yang Dipertuan Muda Riau IV-IV, sepupu Gusti Jamiril. 

PEMERINTAH PEMERINTAH
Upu Daeng Menambon, Raja Mempawah pertama, wafat pada 26 Safar 1174 H / 7 Oktober 1760 M (sejarah lain ia wafat pada 1166 H / 1752 AD). Ia digantikan oleh putranya, bernama Lord Jamiril, diberi gelar 'Adiwijaya Kesiwa Jaya', atau selanjutnya disingkat menjadi Adiwijaya. Pada zamannya pemerintah pusat Mempawah dipindahkan dari Sepukit Raya ke Pulau Pedalaman, Mempawah Hilir. Tetapi setelah berselisih dengan Belanda, Pengawas Adiwijaya harus memindahkan pemerintah pusat dari Pulau Pedalaman, Mempawah ke Hulu Mempawah, lokasi yang sangat jauh bernama Karangan.

Adiwijaya adalah seorang sarjana dan raja yang tidak ingin ditaklukkan oleh penjajah Belanda. Dia lebih siap dan setia dalam jejak perjuangan sepupunya, Raja Haji (Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga Ke-IV) yang meninggal sebagai syahid fi sabilillah di Melaka. Itu adalah langkah yang sama dengan sepupunya, Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga Ke-V, yang kemudian dipaksa bermigrasi untuk menyusun strategi di Sukadana. 

Belanda menuduh Adiwijaya berkonspirasi dengan pahlawan yang berasal dari Riau. Karena Belanda tidak tahu cara menangkap Raja Ali, tekanannya sangat parah sehingga Adiwijaya hanya bisa menyembunyikan Raja Ali.

Padahal, pada saat itu Raja Ali yang memahami situasi maritim bukan hanya di Sukadana tetapi terkadang di Kepulauan Tambelan. Terkadang dia berada di Kepulauan Siantan dan di tempat lain.
Sebagai hasil dari undangan Adiwijaya yang tidak ingin dijajah oleh negara asing non-Muslim, pemerintah kolonial Belanda untuk memulihkan apa yang disebut Rusten en orde (Militer) mengirim pasukan pasukan kolonial dari Pontianak ke Mempawah. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1787 M. Karena pendengaran, penciuman dan pandangan presentasi Adiwijaya untuk mengetahui situasi dan situasi dalam keadaan aman dan perang yang hebat, ternyata serangan itu hanyalah tempat yang dikosongkan. Migrasi Adiwijaya bersama dengan pengikutnya yang setia dari Pedalaman Pulau Mempawah Hilir ke Karangan Mempawah Hulu dilakukan sekitar tahun 1786.

Setelah kekosongan pemerintahan Mempawah, Syarif Abdur Rahman al-Qadri, Sultan Pontianak, saudara lelaki dari Penembahan Adiwijaya, mengambil langkah bijak dengan menunjuk pangerannya, Pangeran Syarif Qasim al-Qadri untuk menjadi Raja di Mempawah. 

Ibu Syarif Qasim al-Qadri adalah Utin Cenderamidi, saudara perempuan Adiwijaya. Jadi Pangeran Syarif Qasim al-Qadri masih layak menjadi Raja di Mempawah karena ia adalah cucu Upu Daeng Menambon. Namun, perang antikolonial Belanda antik masih terjadi yang melibatkan Jati dan Gusti Mas, keduanya pangeran Adiwiyaja. 

Makam 
Keduanya dapat membentuk gabungan kekuatan Melayu dan Dayak. Tempat-tempat perang yang terjadi adalah di antara Herang Galah, Sebukit Rama, di sekitar makam Upu Daeng Menambon dan Sangking.

Perang di Mempawah diperpanjang hingga 1788 M. Pada tahun yang sama Sultan Mahmud dan Bendahara Abdul Majid Pahang mengirim utusan ke Mempawah untuk mengundang Mempawah dan Raja Tempasik untuk menyerang Belanda yang telah menjajah Riau. Situasi Mempawah sangat serius, maka Mempawah tidak mau membantu Sultan Mahmud Riau. Begitu pula dengan Raja Tempasok karena pihak oposisi masih fokus pada Belanda yang memiliki kendali atas Pontianak dan akan menjajah Mempawah.

Ketika delegasi Riau datang ke Mempawah, pada saat itu ada pertengkaran antara orang Cina dan Melayu di sekitar Kuala Mempawah. Diriwayatkan bahwa pertengkaran itu terjadi karena orang Cina yang terlibat dengan organisasi rahasia mereka di Mandor telah mengambil pembantaian orang Melayu dan Bugis selama perang antara orang Melayu-Bugis dan Belanda. 

Ada prajurit kuat dari Riau dan Patani. Ratusan orang China hanya menghadapi tiga orang. Mereka adalah Habib Syekh, yang terkenal karena keramatny-nya dan Tengku Sembob yang terkenal karena martabat dan keandalannya memainkan senjata. Keduanya dari Riau.

Yang lainnya adalah Abdur Rahman yang dipanggil dengan nama Wak Tapak. Dia dari Patani. Dia adalah Syekh Ali bin Faqih al-Fathani. Tiga yang membela Islam dan bumi Melayu adalah di antara mereka yang paling dekat dengan yang diceritakan Adawijaya ini. 

Setelah perang berakhir, beberapa putra dan putri terdekat membujuk Adiwijaya untuk kembali ke Pulau Pedalaman Mempawah untuk mengembangkan Mempawah lagi. Mereka ingin membangun kembali komunitas Melayu Muslim-Bugis sehingga mereka menjadi penyebar agama Islam di wilayah suku Dayak, sebagian besar animisme.

Doa suci pada awalnya diterima oleh Adiwijaya Penembahan, tetapi setelah melakukan sholat Istikharah berulang kali, ia menyimpulkan bahwa selama Belanda, para penjajah, yang tidak seperti dia masih di Pontianak, belum lagi Mempawah sudah berada dalam genggaman Belanda, selama yaitu penyebaran Islam akan mendapat hambatan dari penjajah. 

Penampilan Adiwijaya sama tuanya dengan dia, seolah kematiannya telah berakhir.

Jadi sebelum dia meninggal dia bersaksi. Bahwa ia tidak mau dimakamkan di tempat di mana penjajah Belanda berbicara. Ketika Adiwijaya Penembahan meninggal karena perselisihan kecil, ada kerabat yang membela keinginannya untuk dimakamkan di Karangan, bumi tempat ia terbunuh oleh Belanda. 

Kerabatnya yang lain berpendapat bahwa 'akan ada', dan bahwa dia harus dimakamkan di Pulau Mempawah Outback. Dikatakan bahwa jenazah Penembahan Adiwijaya dimasukkan ke dalam sebuah wadah yang dimuat dalam sebuah kapal dan dibawa ke hilir ke Sungai Mempawah. Dia dibawa ke Mempawah Outback Island.

Semua pengawal dan staf tercengang karena tiba-tiba air sungai menjadi kering. Perahu membawa peti mati terdampar. Ternyata kotak itu dinyalakan, lalu dibuka. Tiba-tiba, tubuh Penembahan Adiwijaya tidak ditemukan lagi di dada. Kotak kosong dermaga masih dibawa ke Pulau Mempawah Interior sesuai dengan kebiasaan raja saat itu. 

Sampai sekarang, tidak diketahui di mana makam Adiwijaya berada karena ada dua makam. Makam pertama terletak di Karangan (Mempawah Hulu) dan yang lainnya di Pulau Pedalaman (Mempawah Hilir).

Beberapa ulama dari dunia Melayu memiliki lebih dari satu makam, di antaranya Syeikh Yusuf Tajul Khalwati yang makamnya terletak di Afrika Selatan dan Sulawesi Selatan. Makam Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani juga ditemukan di Taif dan di Mekah. Terjadinya hal-hal semacam itu semuanya memiliki sejarahnya sendiri. 


No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here