MENGENANG SEJARAH SYEIKH BURHANUDDIN ULAKAN (1607-1692 M./1026-1111H)
Syekh Burhanuddin kembali ke Pariaman.
Setelah dirasa cukup menerima ilmu pengetahuan dari Syeikh Abdurrauf maka tibalah saatnya Pakiah Pono dikembalikan ke Pariaman meninggalkan Aceh guna mengembangkan Agama yang dia pelajari selama ini.
Masa pendidikan itu berakhir dengan perpisahan antara guru dan murid yang berlangsung dengan penuh kasih sayang.
Menurut cerita terjadi percakapan antara Syekh Abdur Rauf dengan Syekh Burhanuddin yang berbunyi : “Saat ini berakhirlah ketabahan dan kesungguhan hatimu menuntut ilmu tiada taranya. Suka duka belajar telah engkau lalui dengan sepenuh hati.
Berbahagialah Engkau, dengan rahmat dan karunia Tuhan, telah selamat menempuh masa khalwat 40 hari lamanya.
Engkau beruntung di dunia dan berbahagia di akhirat kelak.
Sekarang pulanglah engkau ke tanah tumpah darahmu menemui ibu bapamu yang telah lama engkau tinggalkan.
Di samping itu tugas berat dan mulia menantimu untuk mengembangkan Islam di sana.” Ujar Syeikh Abdurrauf yang disambut Pakiah Pono dengan kalimat hamdallah “ Alhamdulillahi Rabblil A’lamien”.
Kemudian Syeikh Abdurrauf melanjutkan, “Pulanglah
kamu kenegerimu, ajarkan ilmu yang ditakdirkan Allah, kalau kamu tetap kasih, takut dan malu kepadaku maka kamu akan mendapat hikmah, Tanganmu akan dicum raja-raja, Penghulu-penghulu, dan orang besar seluruh negeri, muridmu tidak akan putus hingga akhir Zaman, dan ilmu kamu akan memberkati dunia, karena Hatimu telah terbuka dan aku mendoa ke hadhirat Allah subhanahu wata’ala, semoga cahaya hatimu menyinari seluruh alam Minangkabau.
Kini, engkau, aku lepaskan.
Namun dengarkan baik-baik!
Guru di Madinah ada empat orang, yakni Syekh Ahmad al Kusasi, Syekh Qadir al Jailani, Syekh Laumawi.
Ketika aku berangkat ke tanah Jawi ini, beliau memberi amanat yang harus kusampaikan kepadamu karena itu setelah ini engkau memakai nama Burhanuddin dimana nama tersebut pemberian dari guruku Syekh Ahmad al Kusasi itu untukmu jauh sebelum engkau berguru padaku dan ia menitipkan sepasang jubah dan kopiah.
Terimalah ini dari padaku supaya sempurna amanat yang kubawa dan suatu kemuliaan bagi engkau dengan sepasang pakaian ini tanda Ijasah kebesaran ilmu yang penuh di dadamu!”. Demikian isi perbincangan mereka.
Kejadian itu terjadi sekitar Tahun 1686 M. dimana merupakan hari Keberangkatan Pakiah Pono yang kini sudah bergelar Syeikh Burhanuddin untuk meninggalkan mesjid Singkil selama-lamanya. Pakiah Pono alias Syeikh Burhanuddin dilepas Syeikh Abdurrauf dengan sebuah taufah dan membekalinya perahu disertai 70 orang yang akan mengawalnya selama dalam perjalanan.
Rombongan ini dipimpin oleh seorang Panglima yang bernama Katib sangko berasal dari Mudiak Padang Tandikek yang berlayar dengan Tentara Hindu Rupik dan kemudian menuntut ilmu pada Syeikh Abdurrauf kini dia diminta untuk mengantarkan Syeikh Burhanuddin sampai di kampung halamannya.
Alasan Syeikh Abdurrauf membekali Syeikh Burhanuddin pengawal karena dia yakin nanti akan mendapat tantangan berat sebab kala itu masyarakat Pariaman masih kental memeluk agama Hindu Budha sehingga banyak tukang –tukang sihir akan merintangi karena mereka tidak senang kesenangannya di usik dan ganti.
Setelah bertolak dari Aceh rombongan Syeikh Burhanuddin singgah di Gunung Sitoli untuk menambah bekal air Minum maka disitu rombongan menggali sumur yang airnya tidak payau layaknya air dekat tepi Pantai melainkan bagai air pergunungan. Setelah selesai shalat dan perbekalan dicukupkan maka rombongan Syeikh Burhanuddin bertolak kembali menuju Pariaman.
Menurut hikayat sumur yang ditinggalkan itu dijadikan orang sebagai tempat berobat maka bernamalah dia menjadi sumur niaik dan kemudian oleh perubahan dialek menjadi sumur nieh dan pulaunya dinamakan Pulau Niaeh (kini namanya Kepulauan Nias).
Jauh berlayar akhirnya rombongan Syeikh Burhanuddin tiba di Pulau Angso dimuka pantai Pariaman dan istirahat selama dua hari, kiranya selama itu pecah berita dimasyarakat bahwa ada rombongan kapal Aceh yang datang merapat di Pulau, nama Panglimanya Katib Sangko membawa seorang yang bergelar syeikh Burhanuddin dengan tujuan untuk mengembangkan agama baru.
Berita dari nelayan ini menyulut kemarahan tukang sihir sehingga mereka mengeluarkan segala kepandaiannya untuk mengusir rombongan syeikh Burhanuddin. Hiruk pikuk kemarahan para tukang sihir tidak membuat gentar Katib Sangko dia tetap menjalankan perintah gurunya mengantar Syeikh Burhanuddin ke Pariaman dengan selamat maka didayungnya kapal ke pantai.
Dipantai kedatangan mereka tidak disambut dengan baik mereka ditolak sebelum mereka myampaikan maksud kedatangannya maka terjadilah perkelahian yang memakan banyak korban baik dari Rombongan Katik Sangko maupun pihak penyihir, tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama Ulakan yaitu tempat penolakan kedatangan Rombongan Syeikh Burhanuddin.
Berita perkelahian yang memakan korban ini sampai ke basa nan barampek di Tandikek Tujuh Koto sehingga mereka segera menyusul untuk menangkap Katib Sangko. Dugaan mereka salah kiranya rombongan Katib Sangko sangat kuat sehingga tiga dari keempat basa tersebut yaitu Gagak Tangah Padang, Sihujan Paneh, dan si Wama mati. Peristiwa ini membuat Kalik-Kalik jantan gelap mata sementara rombonyan Katib sangko juga banyak yang tewas.
karena mengetahui Kalik-kalik jantan kebal terhadap senjata tajam akhirnya Katib Sangko yang melapor pada Syeikh Burhanuddin. Oleh Syeikh Burhanuddin Katik Sangko disuruh kembali ke Aceh melapor pada Syeikh Abdurrauf tentang kejadian ini dan minta petunjuk. Bagaimana mengalahkan Kalik-kalik Jantan.
Oleh Syeikh Abdurrauf Katik sangko diajarkan cara menghilangkan ilmu kebal Kalik-kalik Jantan dan 150 bala bantuan yang lebih berpengalaman dalam berperang dikirim.
Setelah bantuan tiba di pulau angso syeikh Burhanuddin memerintahkan kembali menyerang dari pantai Pariaman dipagi hari maka pertempuran kembali pecah dan kali ini Kalik Kalik Jantan membuat tameng rakyat sebagai pelindung namun dia bisa didesak mundur hingga ke hulu batang mangau di tepi hutan Tandikek Tujuh Koto disitu rombongan Kalik Kalik jantan terdesak namun berusaha bertahan dan akhirnya terbunuh oleh Katik Sangko.
Dan tempat pertahanan terakhir kalik-kalik Jantan itu diberi nama Koto Nan Alah. Tewasnya Kalik-kalik jantan berdampak pada menyerahnya pengikut Kalik-kalik jantan di seluruh Pariaman selanjutnya Katib Sangko dinobatkan menjadi Mufti di Tandikek. Setelah merasa aman Syeikh Burhanuddin mulai mencari informasi tentang keberadaan kawan karibnya yang kiranya telah diangkat menjadi pemuka masyarakat dengan gelar Majolelo.
Maka melalui nelayan yang singgah dipulau Syeikh Burhanuddin mengirim pesan pada Idris bahwa dia adalah si Pono yang dahulu pergi belajar ke Aceh.
Mendapat informasi bahwa yang datang adalah Sipono yang kini bergelar syeikh Burhanuddin maka Idris majolelo mengajak Ninik Mamak, Pemuka Adat sanak kerabat dan tokoh masyarakat untuk menjemputnnya karena mereka sudah mendengar makan tangan pasukan yang membawa syeikh Burhanuddin maka melalui Pantai Pariaman Syeikh Burhanuddin di Jeput.
Pertemuan antara teman karib berlangsung haru.
Sesaat kemudian mereka berangkat ke Padang Langgundi, Ulakan. Di sanalah mereka bermalam.
Sebagai tanda kenang-kenangan kembali dari menuntut ilmu, Syekh Burhanuddin menanam ranting pinago biru yang dibawa dari Aceh. Beliau berpesan kepada Idris Majo Lelo bila ajal sampai kelak ia minta dikuburkan dekat pinago biru ini.
kemudian Idris Majo Lelo membawa syeikh Burhanuddin ke Tanjung medan dan dalam perjalanan Idris Majo Lelo menceritakan keadaan orang tua Syeikh Burhanuddin yang telah lama meninggal dan telah diselenggarakan dengan baik namun demikian jauh sebelum meninggal kakak Syekh Burhanuddin yang telah Manaruko membuka pintalak di Koto Panjang bersama dengan temannya kaum suku Panyalai sehingga dimana ada pintalak suku Guci disitu ada pintalak suku Panyalai demikian kedekatan suku ini di Koto Panjang dan oleh karena Idris Majo Lelo menjemput teman seperguruan dan sepermainanya Sipono yang kini telah menjadi Syekh bergelar Burhanuddin maka dipertemukanlah Sipono dengan kakaknya di rumah tarukonya di Koto Panjang dan saudara beradik kakak ini berbagi sejarah maka disitulah Syekh Burhanuddin menetap seterusnya yaitu pada sebuah bangunan satu satunya dari kayu yang beratap bagonjong mirip rumahnya di Guguk Sikaladi Pariangan.
Setelah berehat dirumah maka berangkatlah ke tanjung medan yang jaraknya hanya se pematang saja dari rumah Kakaknya sesampai di Tanjung Medan upacara penyambutan kedatangan syeikh burhanuddin berlangsung meriah, Syeikh Burhanuddin diberi tanah wakaf dan di dirikanlah sebuah Surau untuk tempat mengajar. Kedatangan Syeikh Burhanuddin membuat nagari menjadi bergairah, Santri awalnya hanyalah kaum keluarga Syekh dan kerabat Idris Majolelo.
Untuk memudahkan pengembangan syi’ar agama Syeikh Burhanuddin meminta masyarakat agar membawa anaknya ke surau untuk bermain bersamanya. Disinilah cikal bakal pengembangan ilmu agama yang dilakukan oleh syeikh Burhanuddin.
Sistim pembelajaran yang dilakukan Syeikh Burhanuddin tidak seperti biasa, dia melakukannya sambil bermain, semua Permainan yang ada dimasyarakat saat itu dia ikuti, dari Sepak Rago, main gundu dan layang-layang semua dilakoninya namun setiap memulai permain dia selalu membaca basmallah dan doa-doa lain yang membuat dia menang hal ini menimbulkan minat anak –anak untuk mengetahui dan belajar apa isi doa yang dibaca Syeikh Burhanuddin menjadi tinggi, dan setelah murid-muridnya semakin banyak maka atas musyawarah kaum Koto secara gotong royong dibuatkan masyarakatlah sebuah surau tempat Syeikh Burhanuddin mengajar lokasinya juga di Tanjung Medan tanah milik Idris Majolelo yang juga diwakafkan.
Link berkaitan - [Baca bersambung]
1. Penyebar Islam di Minangkabau - SYEIKH BURHANUDDIN ULAKAN2. MENGENANG SEJARAH SYEIKH BURHANUDDIN ULAKAN (1607-1692 M./1026-1111H)
3. Mula mengenal Agama Islam
4. Syeikh Abdurrauf
5. Singkil Selayang pandang
6. Ma’rifat berguru
7. PAKIAH PONO DIBERI GELAR SYEIKH BURHANUDDIN
8. Syekh Burhanuddin kembali ke Pariaman
9. Perjanjian Bukit Marapalam
No comments:
Post a Comment